ASSALAAMU'ALAIKUM AHLAN WA SAHLAN

Sabtu, 03 Januari 2015

BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman dan meyakini dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah Azza wa Jalla telah menurunkan kepada para Rasul-Nya Kitab-kitab yang berisikan perintah, larangan, janji, ancaman dan apa yang dikehendaki oleh Allah terhadap makhluk-Nya, serta di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.” [Al-Baqarah: 285]

Al-kutub (الْكُتُبُ) adalah bentuk jamak dari kata kitaab (كِتَابٌ) yang berarti ‘sesuatu yang ditulis’. Namun yang dimaksud di sini adalah Kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka menggunakan besi itu) dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadiid: 25]

Iman kepada Kitab-kitab mengandung empat unsur:

1. Mengimani bahwa Kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Mengimani Kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Al-Qur-an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissallam, Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud Alaihissallam, Shuhuf Ibrahim Alaihissallam dan Musa Alaihissallam. Adapun Kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, maka kita mengimaninya secara global.

3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita yang terdapat di dalam Al-Qur-an, dan berita-berita Kitab-kitab terdahulu sebelum diganti atau sebelum diselewengkan.

4. Melaksanakan seluruh hukum yang tidak dinasakh (dihapus) serta rela dan berserah diri kepada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun tidak. Dan seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al-Qur-anul Karim.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur-an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai ujian terhadap Kitab-kitab yang lain itu...” [Al-Maa-idah: 48]

Oleh karena itu, tidak dibenarkan melaksanakan hukum apapun dari hukum Kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan oleh Al-Qur-anul Karim [1]. 

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Syarah Ushuulil Iimaan (hal. 32-33) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.


Kedua puluh satu:
AHLUS SUNNAH MENGIMANI BAHWA AL-QUR-ANUL KARIM ADALAH KALAMULLAH, BUKAN MAKHLUK


Termasuk iman kepada Allah dan Kitab-kitab-Nya, yaitu mengimani bahwa Al-Qur-an adalah Kalamullah [1] yang diturunkan (dari-Nya), bukan makhluk. Al-Qur-an berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara secara hakiki.

Allah al-Qadiir berfirman:

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” [An-Nisaa’: 164]

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah Jalla Jalaluhu benar-benar berbicara kepada Nabi Musa Alaihissallam dan tidak boleh ditakwil dengan penafsiran yang lainnya. [2]

Juga firman Allah al-Mubiin:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta pertolongan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.” [At-Taubah: 6]

Al-Qur-an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar-benar kalamullah, bukan perkataan makhluk-Nya, serta tidak boleh berpendapat bahwa Al-Qur-an itu hikayat (cerita) atau ibarah (terjemah) dari kalamullah atau majaz (kiasan). Pendapat ini adalah sesat dan menyimpang bahkan dapat menyebabkan kekufuran.[3]

Syaikh Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 449 H) rahimahullah berkata: “Ahlus Sunnah bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an adalah kalamullah, kitab, firman dan wahyu yang diturunkan-Nya, bukan makhluk. Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa Al-Qur-an adalah makhluk, maka ia kafir menurut pandangan mereka (Ahlus Sunnah). Al-Qur-an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan oleh Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril Alaihissallam kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa Arab, untuk orang-orang yang berilmu, sebagai peringatan sekaligus kabar gembira. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla :

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِين َنَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ 

“Dan sesungguhnya Al-Qur-an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” [Asy-Syu’araa’: 192-195]

Al-Qur-an adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada ummatnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu...” [Al-Maa-idah: 67]

Dan yang disampaikan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kalamullah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُ نَفْسَهُ عَلَى النَّاسِ فِي الْمَوْقِفِ فَقَالَ: أَلاَ رَجُلٌ يَحْمِلُنِي إِلَى قَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُوْنِي أَنْ أُبَلِّغَ كَلاَمَ رَبِّي.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan dirinya kepada manusia pada waktu ibadah haji, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa di antara kalian yang sudi membawaku kepada kaumnya? Sesungguhnya kaum Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku.” [4]

Al-Qur-an adalah kalamullah, bagaimana pun keadaannya, apakah yang terjaga di dalam dada (yang dihafal oleh kaum Muslimin) atau yang dibaca oleh lisan, yang ditulis di mushaf-mushaf. Al-Qur-an adalah kalamullah; lafazh, maknanya serta termasuk huruf dan maknanya adalah kalamullah.” [5]

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

مَنْ قَالَ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ فَهُوَ جَهْمِيٌ، وَمَنْ قَالَ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ.

“Barangsiapa yang berkata bahwa ucapan saya yang melafazhkan Al-Qur-an adalah makhluk, maka ia adalah penganut Jahmiyyah. Dan barangsiapa yang berkata bukan makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah.” [6]

Jika ada seseorang yang mengingkari sesuatu dari Al-Qur-an atau berkeyakinan bahwa ada kekurangan atau sesuatu yang perlu ditambah (padanya), maka ia telah kafir.

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata: “Al-Qur-an adalah kalamullaah, bukan makhluk. Barangsiapa yang berkata: ‘Al-Qur-an adalah makhluk,’ maka ia telah kufur kepada Allah Yang Mahaagung, tidak diterima syahadatnya, tidak boleh dijenguk apabila ia sakit, tidak dishalatkan apabila meninggal, dan tidak boleh dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin. Ia harus diminta bertaubat, kalau tidak mau, maka harus dipenggal kepalanya.” 

Al-Qur-an wajib ditafsirkan menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat) [7] dan tidak boleh menafsirkan semata-mata dengan ra'yu (logika) karena hal tersebut berarti mengata-kan sesuatu atas Nama Allah dengan tanpa ilmu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun menafsirkan Al-Qur-an dengan ra'yu (logika) semata hukumnya adalah haram.” [8]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Tentang masalah ini lihat al-‘Aqiidatus-Salafiyah fii Kalaami Rabbil Bariyyah wa Kasyfi Abaathillil Mubtadi’ah ar-Radiyyah (cet. I-1408 H) oleh ‘Abdullah bin Yusuf al-Judai’.
[2]. Lihat ar-Raddu ‘alal Jahmiyyah (hal. 155, cet. II-Daar Ibnul Atsir, 1416 H) oleh Imam Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi (wafat th. 280 H), tahqiq Badr bin ‘Abdillah al-Badr.
[3]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 20).
[4]. HR. Abu Dawud (no. 4734), at-Tirmidzi (no. 2925), Ibnu Majah (no. 201), al-Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (hal. 41), ad-Darimi dalam ar-Radd ‘alal Jahmiyyah (no. 285), Ahmad (III/390), al-Hakim (II/612-613), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby.
[5]. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 30-31, no. 6), tahqiq dan takhrij Badr bin ‘Abdillah al-Badr.
[6]. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 33) dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (XII/325).
[7]. Sanadnya shahih. Disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffaazh (II/ 728-729) secara ringkas. Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 31, no. 7).
Catatan: Yang berhak melaksanakan hukuman ini adalah ulil amri (pemerintah/ hakim)
[8]. Sebagaimana yang termuat di dalam muqaddimah Tafsiir Ibni Katsiir ((I/4-8), cet. Daarus Salaam) bahwa Al-Qur-an ditafsirkan dengan:
1. Al-Qur-an, atau
2. As-Sunnah, atau
3. Perkataan para Sahabat Radhiyallahu anhum, atau
4. Perkataan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, kemudian
5. Secara bahasa (lafazh bahasa Arab).
Lihat Muqaddimah fii Ushuulit Tafsiir karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 84-94), Daar Ibnul Jauzi, th. 1414 H, tahqiq Fawwaz Ahmad Zamrali.
[8]. Ibid, hal. 96

Jumat, 02 Januari 2015

Kisah Penghafal Quran

Kisah ini disampaikan oleh seorang pengajar Alqur’an al Karim di salah satu masjid di Makkah al  Mukaramah. Ia berkata,”telah datang padaku seorang anak yang ingin mendaftarkan diri dalam  halaqah”. Maka aku bertanya kepadanya,”Apakah engkau hafal sebagian dari Alqur’an?”. Ia berkata,”Ya”. Aku berkata kepadanya, ”Bacakan dari juz ‘amma!” Maka kemudian ia membacanya. Aku bertanya lagi ,”apakah kamu hafal surat tabaarak (al Mulk)?” Ia menjawab,”Ya”. Aku pun takjub dengan hafalannya di usia yang masih dini.
Aku bertanya kepadanya tentang surat An Nahl. Ternyata ia hafal juga, maka semakin bertambah kekagumanku atasnya.
Kemudian aku ingin mengujinya dengan surat-surat panjang, aku bertanya,”Apakah engkau hafal surat Albaqarah. Ia menjawab,”Ya”. Dan ia membaca surat tersebut tanpa salah sedikitpun. Kemudian aku berkata,”Wahai anakku, apakah kamu hafal alQur’an?” ia menjawab,”ya”.
Subhanallah, dan apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi! Aku memintanya untuk datang esok hari bersama dengan orang tuanya, sedangkan aku sungguh benar-benar takjub. Bagaimana mungkin bapaknya melakukan hal tersebut?!
Suatu kejutan besar ketika bapak anak tersebut hadir. Aku melihat penampilannya tidak menunjukkan orang yang komitmen kepada assunnah. Segera ia berkata kepadaku,”Saya tahu anda heran kalau saya adalah ayahnya, tapi saya akan menghilangkan rasa keheranan Anda. Sesungguhnya dibelakang anak ini ada seorang wanita yang setara dengan seribu laki-laki. Aku beritahukan kepada Anda, bahwa aku dirumah memiliki tiga anak yang semuanya hafal Alqur’an. Dan anakku yang paling kecil, gadis berusia 4 tahun, sudah hafal juz ‘amma”.
Aku kaget dan bertanya,”Bagaimana bisa seperti itu?!”
Ia mengatakan bahwa ibu mereka ketika mereka mulai bias berbicara pada usia bayi, maka ia memulainya dengan menghafalkan alQur’an dan memotivasi mereka untuk itu. Siapa yang menghafal pertama kali, maka dialah yang berhak memilih menu untuk makan malam hari itu. Siapa yang melakukan murajdah (setor hafalan) pertama kali, dialah yang berhak meilih kemana kami akan pergi mengisi liburan mingguan. Dan siapa yang mengkhatamkan pertama kali, maka dialah yang berhak menentukan kemana kami harus mengisi liburan.
Seperti inilah istriku menciptakan suasana kompetisi (persaingan) dalam menghafal dan melakukan muraja’ah.
Ketika merenungkan dan memikirkan kisah yang penuh pelajaran ini, kami mendapati bahwa seorang wanita shalihah yang senantiasa memperhatikan kebaikan rumah tangganya, maka dialah wanita yang Nabi Sahalallahu’alaihi wassalam berwasiat pada kaum laki-laki untuk memilih sebagai pasangan hidup. Meninggalkan orientasi harta, kecantikan dan kedudukan.
Maka benarlah ketiika Rasulullah Sahalallahu’alaihi wassalam bersabda, “seorang wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Maka carilah agamanya niscaya kamu beruntung.” (hadits riwayat Bukhari)
Nabi Sahalallahu’alaihi wassalam bersabda, “dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah” (hadits riwayat Muslim)
Selamat atasnya (ibu anak tersebut) yang telah menjamin masa depan anak-anaknya dengan menjadikan alQur’an sebagai pemberi syafaat kepada mereka kelak di hari kiamat.
Nabi Sahalallahu’alaihi wassalam bersabda,”Akan dikatakan kepada orang yang hafal alQur’an pada hari kiamat, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya dalam kehidupan dunia, karena sesungguhnya tempat kembalimu dalam kehidupan akhir adalah sesuai dengan ayat yang dahulu engkau baca” (hadits riwayat Ibnu Hibban)
Maka bayangkanlah sekarang datangnya hari-hari itu, ketika ibu itu berdiri di padang mahsyar. Ia akan melihat anak-anaknya terus naik dan naik dihadapannya, dan tiba-tiba mereka berada di tempat yang paling tinggi. Kemudian dibawakan kepadanya mahkota al waqaar(kemuliaan) yang diletakkan di atas kepalanya.
Apa yang akan dilakukan anak-anak kita jika dikatakan kepada mereka,”Bacalah!”
Maka kemanakah (hafalan) mereka akan sampai?
Apakah akan diletakkan di atas kepala kita sebuah mahkota?
Jika didatangkan timbangan amal, maka berapa banyak lagu-lagu yang mereka hafalkan?
Berapa banyak gambar-gambar porno yang ada dalam HP mereka?
Berapa banyak Bluetooth dengan materi menjijikkan?
Semua ini akan menjadi modal dalam timbangan amal kedua orang tua mereka.
Rasulullah Sahalallahu’alaihi wassalam bersabda, ”Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang pemimpin atas manusia adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Dan seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah bahwa setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (hadits riwayat Bukhari)
Tidaklah Allah mengaruniakan kepada kita keturunan agar kita memperbanyak orang-orang yang bermaksiat kepadaNya. Akan tetapi agar mereka bersyukur dan ingat, apakah anak kita termasuk dari kalangan mereka?
Wahai setiap ibu, wahai saudariku semua!
Mulailah dengan mendidik dan memperbaiki anak-anak kalian. Jadikanlah huruf dan ayat-ayat alQur’an sebagai pemberat timbangan amal kalian dan saksi bagi kalian pada hari perhitungan. Hari dimana alQur’an menempati tempat yang tinggi .
Tentunya risalah ini juga untuk para bapak.


Bayangkan wahai para bapak, jika anda menjadikan anak anda hafal alQur’an. Setiap kali ia membaca satu huruf, anda akan mendapatkan pahala setiap huruf yang ia baca dari alQur’an dalam hidupnya. Maka jadilah anda dengan menjaga anak anda untuk menghafalnya dengan pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala.

Manfaat Menghafal Al-Quran

1. Penghafal Qur’an adalah Shahibul Qur’an
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. berdasarkan sabda nabiShallallahu’alaihi Wasallam:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله
hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah
maksudnya yang paling hafal. Maka derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).
2. Al Qur’an akan menjadi syafa’at bagi shahibul Qur’an
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اقرأوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an” (HR. Muslim  804)
3. Derajat di surga tergantung pada hafalan Qur’an
Semakin banyak hafalannya, akan semakin tinggi kedudukan yang didapatkan di surga kelak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يقال لصاحب القرآن اقرأ وارتقِ، ورتل كما كنت ترتل في الدنيا، فإن منزلك عند آخر آية تقرؤها
akan dikatakan kepada shahibul qur’an (di akhirat) : bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia. karena kedudukanmu tergantung pada ayat terakhir yang engkau baca” (HR. Abu Daud 2240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
4. Termasuk sebaik-baik manusia
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خيركم من تعلم القرآن وعلَّمه
sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Al Bukhari 4639).
5. Allah mengangkat derajat shahibul Qur’an di dunia
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواماً ويضع به آخرين
sesungguhnya Allah mengangkat beberapa kaum dengan Al Qur’an ini dan menghinakan yang lain dengannya” (HR. Muslim 817)
6. Penghafal Al Qur’an lebih diutamakan untuk menjadi imam
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله
hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah” (HR. Abu Daud 582, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Urgensi menghafal Al Qur’an

Selain keutamaan-keutamaan di atas, ada beberapa hal juga yang menjadi pendorong untuk kita semua agar menghafalkan Al Qur’an:
1. Meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Panutan kita, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menghafalkan Al Qur’an, dan setiap bulan Ramadhan Jibril datang kepada beliau untuk mengecek hafalan beliau. Hal ini diceritakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus” (HR. Bukhari, no.6)
2. Membaca Al Qur’an adalah ibadah yang agung
Membaca Al Qur’an adalah ibadah, setiap satu huruf diganjar satu pahala.
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
barangsiapa yang membaca 1 huruf dari Al Qur’an, maka baginya 1 kebaikan. dan 1 kebaikan dilipat-gandakan 10x lipat. aku tidak mengatakan alif lam miim itu satu huruf, tapi alim satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf” (HR. At Tirmidzi 2910, ia berkata: “hasan shahih gharib dari jalan ini”)
Dan banyak lagi keutamaan dari membaca Al Qur’an. Maka seorang Muslim yang hafal Al Qur’an dapat dengan mudahnya membaca kapan saja dimana saja, langsung dari hafalannya tanpa harus membacanya dari mushaf. Dan ini merupakan ibadah yang agung. Ibnu Mas’ud berkata:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ كَانَ يُحِبُّ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ
Barangsiapa yang ingin mengetahui bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah, jika ia mencintai Al Quran maka ia mencintai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid berkata: “semua rijalnya shahih”).
3. Modal utama dalam mempelajari agama
Al Qur’an adalah sumber hukum dalam Islam. Dengan menghafalkan Al Qur’an, seseorang lebih mudah dalam mempelajari ilmu agama. Ia mempelajari suatu permasalahan ia dapat mengeluarkan ayat-ayat yang menjadi dalil terhadap masalah tersebut langsung dari hafalannya. Yang kemudian ia perjelas lagi dengan penjelasan para ulama mengenai ayat tersebut. Ibnu ‘Abdl Barr mengatakan:
طلب العلم درجات ورتب لا ينبغي تعديها، ومن تعداها جملة فقد تعدى سبيل السلف رحمهم الله، فأول العلم حفظ كتاب الله عز وجل وتفهمه
“Menuntut ilmu itu ada tahapan dan tingkatan yang harus dilalui, barangsiapa yang melaluinya maka ia telah menempuh jalan salaf rahimahumullah. Dan ilmu yang paling pertama adalah menghafal kitabullah ‘azza wa jalla dan memahaminya” (dinukil dariLimaadza Nahfadzul Qur’an, Syaikh Shalih Al Munajjid).
4. Modal utama dalam berdakwah
Kata para ulama, hidayah ada 2 macam: hidayah taufiq yang ada di tangan Allah danhidayah al irsyad wal bayan yaitu dakwah yang menjadi tugas para Nabi dan Rasul dan juga kita. Dan Al Qur’an adalah sumber dari hidayah ini, Allah Ta’ala berfirman:
(إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ) (الإسراء: من الآية9)
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan hidayah kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al Isra: 9)
5. Menjaga keotentikan Al Qur’an
Salah satu keistimewaan Al Qur’an adalah keotentikannya terjaga, tidak sebagaimana kitab-kitab samawi yang lain. Dan salah satu sebab terjaganya hal tersebut adalah banyak kaum Muslimin yang menghafalkan Al Qur’an di dalam dada-dada mereka. Sehingga tidak mudah bagi para penyeru kesesatan dan musuh-musuh Islam untuk menyelipkan pemikiran mereka lewat Al Qur’an atau mengubahnya untuk menyesatkan umat Islam.
6. Tadabbur dan Tafakkur
Dengan menghafal Al Qur’an, seseorang bisa lebih mudah dan lebih sering ber-tadabbur dan ber-tafakkur. Yaitu merenungkan isi Al Qur’an untuk mengoreksi keadaan dirinya apakah sudah sesuai dengannya ataukan belum dan juga memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah. Allah Ta’ala berfirman
(أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا) (محمد:24)
Maka apakah mereka tidak men-tadabburi Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
7. Mengobati
Al Qur’an adalah obat bagi penyakit hati dan penyakit jasmani. Allah Ta’ala berfirman
(وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ) (الإسراء: من الآية82)
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar” (QS. Al Isra: 82).